BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tradisi Dalam Pembelajaran IPS
Pendidikan IPS yang ditinjau dari aspek materi, akan
cenderung mengarah pada tiga tradisi pembelajaran yaitu:
a. Pewarisan Nilai Kewarganegaraan (Citizenship Transmission)
IPS sebagai pewarisan nilai-nilai kewarganegaraan tujuan utamanya adalah mempersiapkan anak didik
menjadi warga negara yang baik. Nilai dan budaya bangsa akan dijadikan landasan untuk
pengembangan bangsanya. Setiap bangsa atau negara mendidik warganya berdasarkan
nilai dan budaya yang dimilikinya. Menurut R.Barr dalam citizenship transmission
tradition, nilai-nilai tertentu yang dipandang sebagai ”nilai-nilai yang baik” ditanamkan
dalam upaya untuk mengajari siswa menjadi warga negara yang baik. Komponen yang teramat
penting dari nilai tersebut ialah bagaimana supaya anak
didik dapat menerapkan nilai-nilai tersebut secara rasional
dan kritisyang didukung pertimbangan keimanan (beliefs), dan sikap
(attitudes).
Jadi, Citizenship transmitter
(transfer nilai kewarganegaraan) adalah pendidikan IPS yang disajikan sebagai
pengetahuan untuk membangun perilaku siswa sebagai warga negara yang baik yang juga
berhubungan dengan penamaan tingkah laku, pengetahuan, pandangan,dan nilai yang
harus dimiliki oleh peserta didik.
b. IPS Diajarkan Sebagai Pendidikan Ilmu-
Ilmu Sosial
Ketika Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai Pendidikan Ilmu-Ilmu
Sosial, terdapat dua pemahaman yaitu :
1)
IPS diajarkan sebagai
Ilmu-ilmu Sosial secara terpisah ( separated approach)
Tujuan utama dari IPS diajarkan sebagai ilmu-ilmu
sosial adalah mendidik anak untukmemahami ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial objek
kajianya adalah perilaku dalam kaitannya dengan usaha manusia memenuhi kebutuhan hidup,
lingkungan, kekuasaan, dan lain-lain.Ilmu-ilmu sosial yang terdiri atas
ekonomi, antropologi, geografi, sejarah, sosiologi,dll yang semuanya itu merupakan
bahan yang disampaikan kepada siswa sesuai dengan ciri masing-masing , yang
biasanya disampaikan dengan terpisah (separated approach).
2)
IPS diajarkan sebagai
ilmu– ilmu sosial secara terpadu (integrated approach)
IPS diajarkan sebagai kombinasi dari berbagai disiplin
ilmu– ilmu sosial (seperti ekonomi, geografi, sosiologi, dan lain-lain) yang
mengkaji masalah-masalah di sekitar lingkungan masyarakat (environmental studies).
IPS harus diajarkan dengan mengkombinasikan atau menggabungkan beberapa disiplin
ilmu.
c. Reflective Inquiry
Pengertian inquiry juga mengidentifikasi
masalah-masalah sosial melalui berfikir kritis, yang dirancang untuk melibatkan
para pelajar dalam proses penalaran mengenai hubungan sebab akibat dan
menjadikan mereka fasih da cermat dalam mengajukan pertanyaan, membangun
konsep, dan merusmuskan serta menguji hipotesis. Ketika IPS diajarkan sebagai
reflective inquiry, maka penekanan yang terpenting adalah bagaimana kita
memeberikan motivasi agar siswa dapat berpikir. Guru membantu siswa untuk
menggunakan pikirannya secara logis dan mengadakan penelitian secara ilmiah
untuk mendapatan issu-issu, pertanyaan-pertanyaan, atau masalah-masalah yang
diajukan. Guru tidak mengajar siswa untuk menghapalkan issu atau masalah
tersebut, tetapi mengevaluasi bahan-bahan tersebut secara kritis. Sehingga Reflective inquiry adalah proses
pengembangan kemampuan berfikir siswasecara rasional, berlogika dengan baik,
sehingga siswa memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dengan benar yang didasarkan
kecerdasan dan kemampuan siswadalam mengklarifikasikan struktur nilai. Kemudian, menurut
Woolover dan Scott menyatakan bahwa tradisi IPS adalah:
1)
Social Studies
As Citizenship Transmission.
Meneruskan nilai-nilai lama yang dianggap penting oleh masyarakat kepada
generasi muda (siswa/peserta didik). Nilai-nilai yang dipandang sebagai
“nilai-nilai yang baik”ditanamkan dalam upaya untuk mengajari siswa menjadi
warga negara yang baik. Dimana biasanya menggunakan pendekatan
indoktrinasi.
2)
Social Studies
As Personal Development.
Membantu siswa untuk mengembangkan secara penuh potensi sosial, emosional,
fisikdan kognitif.
3)
Social Studies
As Reflective Inquiry.
Mendorong dan melatih siswa mengembangkan dan menggunakan keterampilan
berfikir reflektif. Kemudian mendidik siswa untuk lebih belajar berfikir dan
untuk mengkaji masalah-masalah sosial secara kritis. Memfokuskan pada pembuatan
keputusan dan pemecahan dari masalah sosial, termasuk masalah controversial.
Materi dirancang dalam bentuk problematika dan siswa dilatih untuk mampu
memecahkan problematika sosial tersebut dengan menggunakan langkah-langkah
berfikir reflektif
4)
Social Studies
As Social Science Education.
Membuat siswa mampu memahami ilmu-ilmu sosial. Menekankan pengajaran
konsep dasar, teori dan metode dari disiplin
ilmu-ilmu sosial, meyakinkan bahwa siswa (peserta didik) akan menjadi
warga negara yang baik jika mereka dapat
memahami dan menerapkan konsep dan metode ilmu-ilmu sosial.
5)
Social Studies As
Rational Decision Making And Social Action.
Mengajari anak didik (siswa) membuat keputusan yang rasional dan bertindak
sesuai keputusannya tersebut.
6)
Social Studies
As Social Science Education.
Membuat siswa mampu memahami ilmu-ilmu sosial. Menekankan pengajaran
konsep dasar, teori dan metode dari disiplin
ilmu-ilmu sosial, meyakinkan bahwa siswa (peserta didik) akan menjadi
warga negara yang baik jika mereka dapat
memahami dan menerapkan konsep dan metode ilmu-ilmu sosial.
7)
Social Studies As
Rational Decision Making And Social Action.
Mengajari anak didik (siswa) membuat keputusan yang rasional dan bertindak
sesuaikeputusannya tersebut.
2.2 Ruang Lingkup Pembelajaran IPS
Keanekaragaman kelompok masyarakat dengan karakternya
yang berbeda-beda, merupakan unsure ruang lingkup IPS lainnya yang sangat
menarik untuk diamati dan dipelajari. Perkembangan kehidupan sosial dengan
segala aspeknya dari waktu ke waktu, mulai dari tahap yang sederhana sampai
tingkat modern, merupakan sisi lain dari ruang lingkup IPS. Proses perkembangn
tersebut biasa dikonsepkan sebagai proses sosial, merupakan pokok bahasan IPS
yang memberikan “citra” kepada kita berkenaan dengan dinamika dan perubahan
sosial manusia. Materi dan ruang lingkup IPS menurut Preston dan Herman adalah
sebagai berikut:
1)
Kelas I SD disajikan
keluarga dan lingkungannya.
2)
Kelas II SD mendapat
sajian tentang lingkungan pertetanggaan dan komunitasnya diwilayah yang
berbeda, umumnya di negara sendiri. Akan tetapi adakalanya juga negara lain pun diungkapkan.
3)
Kelas III SD dihadapkan
dengan komunitas sendiri dan luar negeri, yang lebih dititikberatkan ialah
tentang masalah sumber komunitas sendiri, kebutuhan pangan,sandang dan papan,
bentuk-bentuk komunikasi dan transportasi serta kehidupan di kota.
4)
Kelas IV SD memperoleh
bahan belajar tentang beberapa lingkungan wilayah dan kebudayaan di dunia.
Titik berat terutama tentang kebudayaan dan komunitas tertentu dalam kebudayaan
tersebut. Terkadang yang mendapat perhatian adalah segi geografinya,dan hanya
sedikit saja yang menitikberatkan pada wilayah dan kebudayaan di negara sendiri.
5)
Kelas V SD membahas
sejarah, geografi, sosiologi, dan antropologi negara sendiri. Dalam beberapa program
diungkapkan pula tentang negara tetangga.
6)
Kelas VI SD menurut Preston
dan Herman dibahas tentang sejarah, geografi,dan beberapa segi dari wilayah tertentu di dunia, terutama di belahan dunia sebelah timur, misalnya sebagai sampel
adalah negara-negara Amerika Latin dan Kanada. Sejumlah kecil program menyajikan
secara luas studi permasalahan dan perkembangan kultural, sosial dan ekonomi. Menurut materinya, Ruang
Lingkup materi IPS adalah :
a. Merupakan perpaduan atau integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
b. Terkait dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan
dan kebangsaan, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi,
serta tuntutan dunia global.
c. Jenis materi IPS dapat berupa fakta, konsep dan generalisasi, terkait
juga dengan aspek kognitif, afektif, psikomotorik dan nilai-nilai spiritual.
Ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial
yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah. Terutama gejala dan
masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar peserta
didik SD. Sesuai dengan Peraturan MenteriPendidikan Nasional No. 22 tahun 2006,
menyatakan bahwa ruang lingkup mata pelajaran IPS sekolah dasar
meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Manusia, tempat, dan lingkungan.
2. Waktu, keberlanjutan, dan perubahan.
3. System sosial dan budaya.
4. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan
2.3 Pengertian Model Pembelajaran IPS
Secara khusus, model diartikan
sebagai karangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
suatu kegiatan. Setiap model pembelajaran mempunyai keunggulan dan
kelemahan dibandingkan dengan yang lain. Tidak ada model pembelajaran yang
paling efektif untuk semua mata pelajaran atau untuk semua materi. Sebagai
seorang guru harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat bagi peserta
didik.
Karena
itu dalam memilih model pembelajaran yang diterapkan di kelas harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: tujuan pembelajaran, sifat materi
pembelajaran yang akan diajarkan, ketersediaan fasilitas dan media,
sumber-sumber belajar, kondisi peserta didik atau tingkat kemampuan peserta
didik, dan alokasi waktu yang tersedia agar penggunaan model pembelajaran dapat
diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan peserta didik dapat juga
diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran sehingga
proses belajar mengajar akan lebih menarik dan siswa belajar akan lebih
antusias dan mampu mengubah persepsi siswa terhadap mata pelajaran IPS akan
lebih positif dan akan lebih menyenangkan. Komponen utama mengajar yang efektif
diringkas dalam gambar 1.1 (Slavin, 2008).
2.4 Model-Model Pembelajaran IPS
Berikut
diberikan beberapa contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan
berlandaskan paradigma konstruktivistik yaitu:
1.
Model Reasoning
and Problem Solving
Reasoning merupakan
bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang
meliputi basic thinking, critical thinking, dan kreative
thinking. Selanjutnya, Johnson (1992) merangkum beberapa definisi critical
thinking dari beberpa ahli, seperti Ennis (1987,1989), Lipman (1988), Siegel
(1988), Paul (1989), dan McPeck (1981), yang disebut juga “the Group of Five”.
Ia menyimpulan bahwa ada tiga persetujuan substansi dari kemampuan berpikir
kritik. Pertama, berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan
kognitif; kedua, berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan
pengetahuan; dan ketiga, berpikir kritis mencangkup dimensi afektif yang
semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda. Tujuan berpikir kritis
adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai bahkan mengevaluasi
pelaksaan atau praktik dari suatu pemikiran dan nilai tersebut.
Dan problem
solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban
berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki
sebelumnya. Jadi, kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui
kemampuan reasoning.
Model reasoning
and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran,
yaitu:
1. Membaca
dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan
seting pemecahan.
2. Mengeksplorasi
dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan,
membuat tabel, grafik, atau gambar).
3. Penyeleksi
strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau
ekspansi, dedukasi logis, menulis persamaan).
4. Menemukan
jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan
geometri).
5. Refleksi
atau perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternative pemecahan, memperluas
konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan
masalah-masalah variatif yang orsinil).
Pada
model pembelajaran ini guru berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik
yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Metode pemecahan masalah
(problem solving) adalah sebuah metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan
melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik pribadi atau perorangan
maupun kelompok untuk dipecahkan sendiri atau bersama-sama. Ada empat tahap
proses pemecahan masalah menurut Savage dan Amstrong sebagai berikut:
1) Mengenal
adanya masalah;
2) Mempertimbangkan
pendekatan-pendekatan untuk pemecahannya;
3) Memilih
dan menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut; dan
4) Mencapai
solusi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun
keunggulan metode problem solving, sebagai berikut:
·
Melatih peserta didik
untuk mendesain suatu penemuan.
·
Berpikir dan bertindak
kreatif.
·
Memecahkan masalah yang
dihadapi secara realistis.
·
Mengidentifikasi dan
melakukan penyelidikan.
·
Menafsirkan dan
mengevaluasi hasil pengamatan.
·
Merangsang perkembangan
kemajuan berpikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
dengan tepat.
·
Dapat membuat
pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya.
Kelemahan
metode problem solving, adalah sebagai berikut:
2.
Model Inquiri
Training
Secara
umum, istilah “inquiri” berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab
suatu masalah. Rogers (1969), misalnya menyatakan bahwa inkuiri merupakan suatu
proses untuk mengajukan pertayaan dan mendorong semangat belajar para siswa
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebagai sebuah metode mengajar yang
berorientasi pada latihan meneliti dan mempertanyakan, istilah ini sejajar
dengan metode pemecahan masalah, berpikir reflektif dan atau ‘discovery’
(Hagen, 1969). Namun, Beyer (1971) mengatakan bahwa inkuiri lebih dari sekedar
bertanya. Inkuiri adalah suatu proses mempertanyakan makna atau arti tertentu
yang menuntut seseorang menampilkan kemampuan intelektual agar ide atau
pemikirannya dapat dipahami.
Pengunaan
pendekatan ini memiliki keunggulan terutama untuk mengembangkan kemampuan
berpikir maupun pengetahuan. Sikap dan nilai pada peserta didik dibanding
dengan pendekatan klasikal atau tradisional. Menurut para ahli, pendekatan
inkuiri merupakan upaya yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebosanan
siswa dalam belajar di kelas. Pendekatan ini cukup ampuh karena proses belajar
lebih terpusat kepada siswa (student-centred instruction) daripada
kepada guru (teacher-centred instruction).
Model
inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu:
1) Menghadapkan
masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling
bertentangan).
2) Menemukan
masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya
masalah).
3) Mengkaji
data dan mengeksprimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan
hipotesis).
4) Mengorganisasikan,
merumuskan dan menjelaskan.
5) Menganalisis
proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sarana
pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu
membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang
menantang peserta didik untuk melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran
dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif.
Langkah-langkah inquiry adalah
sebagai berikut:
3. Model Problem-Based
Intruction
Problem-Based
Intruction adalah model pembelajaran yang berandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar
dan pemecahan masalah otentik.
Model Problem-Based
Intruction memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1) Guru
mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah
bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua atau
tiga pertemuan, bisa berawal dari seleksi guru atau eksplorasi peserta didik).
2) Guru
membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah
itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan
data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran).
3) Guru
membantu peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah
yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya).
4) Pengorganisasian
laporan (makalah,laporan lisan, model, program, computer, dll.).
5) Presentasi
(dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu melibatkan
administrator dan anggota masyarakat.
4. Model
Pembelajaran Perubahan Koseptual
Konsep-konsep
merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk memasukkan
prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Oleh karena itu, untuk
memecahkan masalah, seorang peserta didik harus mematuhi aturan-aturan antara
yang selaras dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang
diperolehnya. Perubahan konseptual terjadi ketika peserta didik memutuskan pada
pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar
melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh
pesera didik sebelum pembelajaran.
Model
pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu
sebagai berikut:
a. Sajian
masalah konseptual dan kontekstual.
b. Konfrontasi
miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut.
c. Konfrontasi
sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh
tandingan.
d. Konfrontasi
pembuktian konsep dan prinsip secara alamiah.
e. Konfrontasi
materi dan contoh-contoh kontekstual.
f. Konfrontasi
pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan
secara bermakna.
Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah lembaran kerja peserta didik, bahan
ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik, dan untuk guru, peralatan
demonstransi yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi
atau ruangan kelas yang mudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran model ini
adalah sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan
penerapan pengetahuan yang variatif.
5. Model Group
Investigation
Pemikiran
Dewey yang utama tentang pendidikan yang utama, adalah: peserta didik hendaknya
aktif (learning by doing), belajar hendaknya didasari motivasi intrinsic,
pengetahuan berkembang tidak bersifat tetap, kegiatan belajar hendaknya sesuai
dengan kebutuhan dan minat peserta didik, pendidikan harus mencangkup kegiatan
belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain
artinya prosedur demokratis sangat penting, kegiatan belajar hendaknya
berhubungan dengan dunia nyata. Gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model
group investigation. Model group investigation memiliki enam langkah
pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a. Grouping (menetapkan
jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topic, merumuskan
permasalahan.
b. Planning (menetapkan
apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajarinya, siapa melakukan apa, apa
tujuannya).
c. Investigation (saling
tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi,
menganalisis datam membuat referensi).
d. Organizing (anggota
kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji,
moderator, dan notulen).
e. Presenting (salah
satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan).
f. Evaluating (masing-masing
peserta didik melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan
hasil diskusi kelas, peserta didik dan guru berkolaborasi mengevaluasi
pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan
pada pencapaian pemahaman.
Sistem
sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru. Sarana pendudkung model
pembelajaran ini adalah lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar
untuk peserta didik dan guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan kursi
yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang mudah ditata untuk itu. Sebagai
dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelituan yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
6. Model
Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique)
Teknik
Mengklarifikasi Nilai (Value Clarification Technique) atau sering disebut VCT
merupakan teknik pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam mencari dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam mengahadapi persoalan melalui
proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri peserta didik.
Tujuan menggunakan VCT yaitu:
a. Mengetahui
dan mengukur tingkat kesadaran peserta didik tentang suatu nilai, sehingga
dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.
b. Menanamkan
kesadaran peserta didik tentang nilai-nilai yang dimiliki baik tingkat maupun
sifat yang positif maupun yang negative untuk selanjutnya ditanamkan kearah
peningkatan dan pencapaian target nilai.
c. Menanamkan
nilai-nilai tertentu kepada pesera didik melalui cara yang rasional (logis) dan
diterima peserta didik, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi
milik peserta didik sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.
d. Melatih
peserta didik dalam menerima-menilai nilai dirinya dan posisi nilai orang lain,
menerima serta mengambil keputusan terhadap suatu persolan yang berhubungan
dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.
7. Pendekatan
Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M)
Pendekatan
S-T-S dikembangkan sebagai sebuah pendekatan untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran
aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk memecahkan masalah yang
ditemukan dalam kehidupan sehariannya. Perkembangan sains dan teknologi sering
kali menimbulkan dampak dalam proses perubahan masyarakat. Dengan digunakannya
S-T-S dalam pembelajaran IPS akan dibangun suatu dimensi baru dalam pembaharuan
pendidikan IPS terutama dapat menekankan segi pragmatis yaitu mengungkapkan
hal-hal yang berguna dan berhubungan langsung dengan aspek kehidupan peserta
didik.
Program-program
S-T-S pada umumnya memiliki karakteristik atau ciri-ciri sebagai berikut:
a. Identifikasi
masalah-masalah setempat yang memiliki kepentingan dan dampak.
b. Perpanjangan
belajar di luar kelas dan sekolah.
c. Fokus
kepada dampak sains dan teknologi terhadap peserta didik.
d. Identifikasi
bagaimana sains teknologi berdampak di masa depan.
e. Kebebasan
atau otonomi dalam proses belajar dll.
8. Model
Portofolio
Teori
belajar yang mendasari pembelajaran portofolio adalah teori belajar
konstruktivisme, yang ada prinsipnya menggambarkan bahwa peserta didik membentuk
atau membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya.
Portofolio sebagai model pembelajaran merupakan usaha guru agar peserta didik
memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya sebagai
individu maupun kelompok. Pembelajaran berbasis portofolio memungkinkan peserta
didik untuk:
a. Berlatih
memadukan antara konsep yang diperoleh dari penjelasan guru atau dari
buku/bacaan dengan penerapannnya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Peserta
didik diberi kesempatan untuk mencari informasi di luar kelas baik informasi
yang sifatnya benda/bacaan, penglihatan (objek langsung, TV/radio/internet)
maupun orang/pakar/tokoh.
c. Membuat
alternatif untuk mengatasi topic/objek yang dibahas.
d. Membuat
suatu keputusan (sesuai kemampuannya) yang berkaitan dengan konsep yang telah
dipelajarinya, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
e. Merumuskan
langkah yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah dan mencegah timbulnya
masalah yang berkaitan dengan topik yang dibahas.
9. Pembelajaran
Kontekstual
Penerapan
pembelajaran kontekstual di kelas melibatkan tujuh utama pembelajaran efektif,
yaitu konstruktivisme (Constructivism), bertanya (questioning), menemukan
(Inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Tahap-tahap dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual pada tingkat sekolah
adalah sebagai berikut:
a. Mengkaji
materi yang akan diajarkan pada peserta didik dengan memilih yang kontekstual
dan dapat dikaitkan dengan hal-hal yang aktual.
b. Mengkaji
konteks kehidupan peserta didik sehari-hari dengan cermat sebagai upaya untuk
memahami konteks kehidupan peserta didik.
c. Memilih
materi pelajaran yang dapat dikaitkan dengan konteks kehidupan peserta didik.
d. Menyusun
persiapan kegiatan pembelajaran yang telah memasukkan konteks kehidupan di
dalam materi yang akan diajarkan.
e. Melaksanakan
kegiatan pembelajaran kontekstual dengan mendorong peserta didik untuk
mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah
dimiliki sebelumnya.
f. Melakukan
pemilaian sebenarnya terhadap hasil belajar peserta didik, di mana hasil
penilaian tersebut digunakan untuk bahan perbaikan atau penyempurnaan persiapan
dan melaksanakan kegiatan pembelajaran selanjutnya.
10. Model
Inkuiri Sosial
Model
menghubungkan istilah inkuiri dengan pengembangan kemampuan peserta didik untuk
menemukan dan merefleksikan sifat kehidupan sosial, terutama sebagai latihan
hidup sendiri dan langsung dalam masyarakat. Guru berperan sebagai reflector
dan pembimbing yaitu memberikan bantuan kepada peserta didik dalam menjelaskan
kedudukan mereka dalam proses belajarnya. Terdapat tiga cirri pokok dalam model
pembelajaran iinkuiri sosial, yaitu:
a. Adanya
aspek-aspek sosial dalam kelas yang dapat menumbuhkan tercipatanya suatu
diskusi kelas.
b. Adanya
penetapan hipotesis sebagai arah dalam pemecahan masalah.
c. Mempergunakan
fakta sebagai pengujian hipotesis.
11. Model
Pembelajaran Pengambilan Keputusan
Pada
uraian berikut ini, akan dibahas model desain pembelajaran pengambilan
keputusan (decision making) yang dikhususkan untuk pembelajaran IPS.
Apa
dan mengapa model pembelajaran pengambilan keputusan?
Makna
konsep pengambilan keputusan (decision making) berkaitan dengan kemampuan
berpikir tentang alternatif pilihan yang tersedia, menimbang fakta dan bukti
yang ada, mempertimbangkan tentang nilai pribadi dan masyarakat. Apabila
seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan tersebut maka kemungkinan jawaban
yang muncul adalah pilihan yang tepat atau tidak tepat.
Banks
mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan tidaklah
muncul dengan sendirinya. Pengambilan keputusan adalah suatu keterampilan yang
harus dibina dan dilatihkan. Bertitik tolak dari asumsi bahwa keterampilan
pengambilan keputusan (decision-making-skills) dapat dibina dan dilatihkan pada
siswa maka model pembelajaran ini merupaka alternatif bagi para guru dan calon
guru untuk membina profresionalisme dalam proses belajar-mengajar. Savage dan
Armstrong (1996) mengemukakan langkah-langkah proses pengambilan keputusan
sebagai alternatif model pembelajaran dalam IPS sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
persoalan dasar atau masalah;
2. Mengemukakan
jawaban-jawaban alternatif;
3. Menggambarkan
bukti yang mendukung setiap alternatif;
4. Mengidentifikasi
nilai-nilai yang dinyatakan dalam setiap alternatif;
5. Menggambarkan
kemungkinan akibat setiap pilihan alternatif;
6. Membuat
pilihan dari berbagai alternatif;
7. Menggambarkan
bukti dan nilai yang dipertimbangkan dalam membuat pilihan.
Selain
Savage dan Armstrong, Banks (1990) mengemukakan pula urutan langkah atau
prosedur dalam pengembangan keterampilan pengambilan keputusan dengan komponen
esensial sebagai syaratnya. Menurut Banks, sedikitnya ada dua syarat untuk
melaksanakan model pembelajaran pengambilan keputusan: (1) pengetahuan sosial;
dan (2) metode atau cara mencapai pengetahuan.
Demikian
sejumlah model pembelajaran IPS yang dapat diterapkan oleh para guru di kelas.
Namun untuk melaksanakannya, guru dapat memodifikasi model-model tersebut
setelah ada penyesuaian konteks lingkungan dan kondisi serta kebutuhan peserta
didik.
Komentar
Posting Komentar